Hukum Perikatan
1.1
Definisi Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”.
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia.
Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap
orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa
perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya
seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya letak
pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang
bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan
bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri
diakui dan diberi ‘akibat hukum’.
Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain
disebut Hubungan Hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam
bidang Hukum Waris ( law of succession ) serta dalam bidang Hukum pribadi (
personal law ).
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian Perikatan iala suatu hubungan dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih. Dimana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa
sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikn
pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak ( kreditur
) dan pihak lain berkewajiban ( debitur ) atas suatu prestasi. Pengertian
perikatan menurut Hofmann ialah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang
daripadanya ( debitur atau pada debitur ) mengikatkan dirinya untuk bersifat
menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap
yang demikian itu.
Istilah
perikatan telah tepat untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang
dimaksudkan Verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara
dua pihak yang berisi hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut yang
menandakan bahwa pengertian perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak,
yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat namun hanya dapat dibayangkan dalam
pikiran kita. Untuk mengkrongkretkan pengertian perikatan yang abstrak, maka
perlu adanya suatu perjanjian.
1.2 Dasar Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat beberapa sumber, yaitu :
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.
Perikatan yang timbul dari Undang-Undang
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi
menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini
tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata ”Perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai
akibat perbuatan orang”
A. Perikatan
terjadi karena Undang-Undang semata.Perikatan yang timbul dari
undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang
ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua
dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga
yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar
dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula
sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan
keadilan ( billijkheid ) maka hal-hal termasuk dalam sumber-sumber perikatan.
B. Perikatan
terjadi karena Undang-Undang akibat perbuatan manusia.
C. Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
1.3
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
a. Asas Kebebasan
Berkontrak
terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang
menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para
pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
b. Asas konsensualisme
artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya
kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat
yaitu :
1. Kata Sepakat
antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap
menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab
yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
1.4 Wanprestasi dan
Akibat-akibatnya
Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (
debitur ) tidak melakukan apa yang dijanjikan. Adapun bentuk dari wanprestasi
dapat berupa 4 kategori :
1. Tidak melakukan apa saja yang disanggupi
akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut tidak
boleh dilakukannya.
Akibat Wanprestasi Yaitu berupa
hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan Wanprestasi dapat
digolongkan menjadi 3 kategori :
1. Membayar kerugia yang diderita oleh kreditur ( ganti
rugi ). Ganti rugi sering diperinci meliputi 3 unsur, diantaranya :
a. Biaya adalah segala pengeluaran / perongkosan yang
nyata telah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang milik
kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian debitor.
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang telah dibayangkan / dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalah perjanjian / pemecahan perjanjian didalam
pembatasan tuntutan ganti rugi yang telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan
membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Ialah kewajiban untuk memikul kerugian apabila terjadi suatu peristiwa
diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek
pejanjian sesuai denga Pasal 1237 KUH Perdata.
1.5
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria
sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada beberapa cara penghapusan
suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1. Pembaruan
Hutang
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya
sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang
ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada beberapa macam novasi
yaitu :
· Novasi obyektif,
dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
· Novasi subyektif
pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
2. Penjumpaan
Hutang ( kompensasi )
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan,
yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur
satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang
satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut
dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah
terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp.
1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua
utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai
utang Rp. 400.000,- kepada B.
Untuk terjadinya kompensasi Undang-Undang ditentukan oleh Pasal 1427 KUH
Perdata, yaitu utang tersebut :
· Kedua-duanya
berpokok sejumlah uang atau.
· Berpokok sejumlah
barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang
dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
· Kedua-keduanya
dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
3. Pembebasan
Hutang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang
pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum
dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari
debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan
secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan
kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag
dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu
tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat
piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan
utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus.
Jika pembebasan utang dila kukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat
perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat
dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan :
· pembebasan utang
yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang,
· pembebasan utang
yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama,
· pembebasan yang
diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung
lainnya.
4. Musnahnya
Barang Terhutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan
musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi
suatu ”keadaan memaksa”
atau force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan
tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata,
maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah
perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237
KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas
tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
5. Kebatalah
dan Pembatalan Perikatan-Perikatan
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan
musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi
suatu ”keadaan memaksa”
atau force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan
tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata,
maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah
perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237
KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas
tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
6. Kedaluarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu
adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu
tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber :
http://p4hrul.wordpress.com/2012/04/19/hukum-perikatan/