Sabtu, 24 Mei 2014

Hukum Perikatan

Hukum Perikatan

1.1 Definisi Hukum Perikatan

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain disebut Hubungan Hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang Hukum Waris ( law of succession ) serta dalam bidang Hukum pribadi ( personal law ).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian Perikatan iala suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih. Dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikn pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak ( kreditur ) dan pihak lain berkewajiban ( debitur ) atas suatu prestasi. Pengertian perikatan menurut Hofmann ialah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya ( debitur atau pada debitur ) mengikatkan dirinya untuk bersifat menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan telah tepat untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan Verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang berisi hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut yang menandakan bahwa pengertian perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat namun hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkrongkretkan pengertian perikatan yang abstrak, maka perlu adanya suatu perjanjian.

1.2 Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat beberapa sumber, yaitu :
1.   Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.   Perikatan yang timbul dari Undang-Undang
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata ”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”
A.  Perikatan terjadi karena Undang-Undang semata.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan ( billijkheid ) maka hal-hal termasuk dalam sumber-sumber perikatan.
B.  Perikatan terjadi karena Undang-Undang akibat perbuatan manusia.
C. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

1.3 Azas-azas dalam hukum perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
a.   Asas Kebebasan Berkontrak
terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b.   Asas konsensualisme
artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
1.  Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.  Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.  Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

1.4  Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak ( debitur ) tidak melakukan apa yang dijanjikan. Adapun bentuk dari wanprestasi dapat berupa 4 kategori :
1.      Tidak melakukan apa saja yang disanggupi akan dilakukannya.
2.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3.      Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4.      Melakukan sesuatu yang menurut tidak boleh dilakukannya.
Akibat Wanprestasi Yaitu berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan Wanprestasi dapat digolongkan menjadi 3 kategori :
1.   Membayar kerugia yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi ). Ganti rugi sering diperinci meliputi 3 unsur, diantaranya :
a.  Biaya adalah segala pengeluaran / perongkosan yang nyata telah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang milik kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian debitor.
c.  Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang telah dibayangkan / dihitung oleh kreditor.
2.   Pembatalah perjanjian / pemecahan perjanjian didalam pembatasan tuntutan ganti rugi yang telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.    Peralihan Risiko
Ialah kewajiban untuk memikul kerugian apabila terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek pejanjian sesuai denga Pasal 1237 KUH Perdata.

1.5  Hapusnya Perikatan

Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada beberapa cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1.   Pembaruan Hutang
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada beberapa macam novasi yaitu :
·  Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
·  Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
2.   Penjumpaan Hutang ( kompensasi )
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B. Untuk terjadinya kompensasi Undang-Undang ditentukan oleh Pasal 1427 KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
·  Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
·  Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang
   dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
·  Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
3.   Pembebasan Hutang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dila kukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan :
·    pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang,
·    pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama,
·     pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
4.   Musnahnya Barang Terhutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa” atau force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
5.   Kebatalah dan Pembatalan Perikatan-Perikatan
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa” atau force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
6.   Kedaluarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.


DAFTAR PUSTAKA
Sumber :
http://p4hrul.wordpress.com/2012/04/19/hukum-perikatan/

Senin, 31 Maret 2014

PENGERTIAN HUKUM

NAMA : TIRA MAHARANI
KELAS: 2EB18
NPM    : 27212398

DUA PENGERTIAN HUKUM
Unruk mengetahui seluk-beluk dari pada Hukum Administrasi Negara yang hannya merupakan sebagian kecil saja dari bidang hukum secara keseluruhan, maka perlu sekali dipunyai suatu pengertian minimal tentang APAKAH SEBENARNYA yang dimaksud dengan HUKUM itu ?
Hukum itu tidak tampak bagi seorang yang tidak terdidik dan tidak terlatih otak matanya oleh karena merupakan system intelektual dan suatu mekanisme social. Tujuan dari pendidikan Hukum adalah menghasilkan orang-orang yang mampu menemukan, melihat, dan merumus Hukum.
Pengertian Hukum.
Kita diindonesia menganut pandangan bahwa Hukum itu berada dimana-mana dalam  masyarakat, dalam instansi-instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan dalam badan-badan social, dan yang paling diperhatikan oleh orang-orang adalah yang terdapat di pengadilan-pengadilan.
Jadi jelaslah bahwa Hukum itu mempunyai dua segi, yakni :
a.       Sebagai fenomena masyarakat, sebagai suatu yang terdapat dan terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
b.      Sebagai sesuatu yang menjadi pokok perhatian, kesibukan, dan permasalahan dari pada sekelompok orang-orang yang disebut para yuris, para penegak hukum, petugas hukum, dan sebagainya.
Namun Hukum modern pada waktu ini lebih dipandang sebagai suatu system intelektual atau suatu mekanisme social guna mencegah timbulnya konflik-konflik social, dan bilamana timbul untuk memecahkan, dalam arti mencari jalan keluar, bagi konflik tersebut.
Di mana-mana didunia, dan sepanjang abad, yang paling penting dan paling banyak diperhatiakn orang adalah HUKUM YANG DINYATAKAN atau DIPERGUNAKAN OLEH HAKUM DI PENGADILAN-PENGADILAN. Di Zaman kuno dan dulu banyak raja, khalif, sultan, panglima, ulama, dan sebagainya yang menjadi “Hakim”. Artinyya “menemukan hukum ang berlaku bagi suatu kasus atau perkara tertentu”. Namun Negara modern siapa pun dilarang menggunakan hakim sendiri kecuali PEJABAT-PEJABAT NEGARA TERTENTU yang diangkat melalui  suatu prosedur yang cukup ketat dan yang memenuhi syarat-syarat kepribadian, pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan lulusan saringan tang tertentu.
Oleh karena Hukum yang dinyatakan oleh HAKIM NEGARA itu tidak boleh diragukan oleh pihak-pihak yang mana pun dalam hal keadilan atau kewajarannya atau kewicaksanaan. Oleh sebab itu, putusan hakim (Vonis) yang sudah mempunyai kekuatan tetap (gewijsde) wajib diumumkan, artinya siapa pun boleh mengetahuinya. Dan salinan dari pada setiap putusan Hakim sudah gewijsde atau belum wajib diberikan kepada setiap pihak  yang berperkara.
Kumpulan dari pada putusan-putusan hakim atau vonis-vonis hakim, yang sudah menjadi gewijsde, sudah mempuyai kekuatan tetap itu, merupakan sumber hukum yang sangat penting sesudah indang-undang.
Hukum itu apa ?
Kita mulai terlebih dulu dengan pandangan yang umum dan yang banyak dianut oleh orang sehari-hari, yakni pandangan dari para yuris. Menurut pandangan para yuris pada umumnya, maka yang dimaksud dengan hukum  adalah sekumpulan aturan-aturan (regels, rules) mengenai sikap dan tingkah laku (persoon, persona) atau orang-orang di dalam menghadapi sesama orang yang mengenai sesuatu yang menjadi obyek tata hubungan mereka.
Orang dalam hukum, disebut  juga subyek hukum, adalaha setiap manusia atau badan hukum (rechtspersoon, legal person) yang menjadi  pemikul atau pembawa dari pada hak-hak, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab –tanggung jawab hukum. Pada waktu ini yang tidak mengenal adanya budak-budak belian lagi semua orang adalaha SUBYEK HUKUM artinya diizinkan secara sah untuk menjadi pemikul hak hukum (privat, perdata) atau wewenang hukum (public, kenegaraan) dan kewajiban hukum atau dengan kata lain  mempunyai  rechtsveveogdheid biar orang gila maupun masih orok. Hak hukum ini harus dibedakan dari hak melakukan perbuatan hukum.
Rechtsbevoegd atau menjadi subyek hukum berarti bahwa seorang itu mempunyai hak atau wewenang dan kewajiban untuk menjadi subyek (pembawa hak dan kewajiban) di dalam suatu tata hubungan hukum.
Dalam masyarakat umumnya Hukum merupakan aturan –aturan tentang sikap dan tingkah laku orang-orang yang menjadi keyakinan bersama dari sebagian besar warga masyarakat, bahwa aturan-aturan itulah yang wajib dijunjung tinggi bersama, sehingga bilamana terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan tingkah laku tersebut oleh seorang warga masyarakat maka  pelanggar tersebut akan ditindak oleh petugas-petugas yang diangkat atau ditunjuk oleh masyarakat tersebut.
Dalam suatu Negara modern praktik demikian itu tidak mungkin dapat dipergunakan oleh karena urusan-urusan dan masalah-masalah masyarakat dan Negara modern itu banyak sekali. Oleh karena itu maka badan-badan atau dewan-dewan atau pejabat-pejabat Negara tertentu yang diberi wewenang  khusus melalui suatu proses yang cukup ketat dan sebersih-bersihnya, menetapkan saja HUKUM apa artinya aturan mengikat apa yang akan berlaku dan akan dipergunakan di dalam urusan-urusan tertentu. Ketetapan-ketetapan ini disebut UNDANG-UNDANG dalam arti luas.
Undang-undang dalam arti formal atau dalam arti sempit adalah “keputusan Badan Legislatif”. Badan legislatif  atau Badan Pembuatan Undang-undang kita, menurut Undang-undang  kita menurut Undang-undang Dasar 1945 pasah 5 ayat (1) terdiri atas Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun undang-undang dalam arti materiil (dalam arti substansial) atau dalam arti luas adalah “setiap keputusan pejabat Negara yang berwenang (overheidsbesluit) yang  menetapkan aturan-aturan hukum obyektif yang meningkat secara umum . dengan perkataan lain setiap keputusan penguasaan  kadang-kadang hanya berbentuk surat edaran yang mengandung  aturan-aturan hukum yang bersifat umum berlaku secara umum, abstrak tidak menunjukan kepada suatu penilaian atau selera dan tidak menunjuk kepada orang-orang tertentu dan imperative wajib dilaksanakan tidak dapat dilawan atau ditawar adalah undang-undang dalam arti luas.
Menurut Tata Hukum kita, hierarki tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Undang-undang Dasar 1995 baik “Pembukaanya”,”Batang Tubuh” maupun “Penjelasannya”.
2.      Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat.
3.      Undang-undang dalam arti formal (Keputusan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat).
4.      Oeraturan pemerintah pengganti Undang-undang.
5.      Peraturan pemerintah.
6.      Keputusan presiden.
7.      Keputusan menteri yang berpangkal pada undang-undang ayau poeaturan pemerintah.
8.      Peraturan Daerah Tingkat 1.
9.      Peraturan Daerah Tingkat II.

Dengan demikian, maka kita dapat bertannya lagi apakah sebenarnya hukumitu ? apakah hukum itu norma ataukah aturan sikap kelakuan.

Dalam hal ini kita menganut pandangan yang sama dengan diEropa Kontinental, yang memandang terhadap hukum itu baik sebagai norma, aturan sikap kelakuan, maupun aturan adat kebiasaan masyarakat. Artinya jangan sampai misalnya terjadi suatu undang-undang ang bertentangan dengan rasa pertentangan dengan rasa peradilan rakyat atau masyarakat. Di Eropa hingga kini masih terus terjadi antara pertentangan para penganut Ajarah Hukum Normatif yang murni.

Di dalam hal kepatuhan kepada hukum yang berlaku para ahli ilmu social sangat memperjatikan mutu (materi, metologi) dan teknologi pendidikan dari pada IDE dan sangat memperhatikan mutu. Dari pada pemerintahan dan administrasi Negara yang harus dibuat para pelaku tahu, mau, dan mampu melakukan segala sesuatunya sesuai dengan IDE dari pada hukum yang dikehendaki oleh bangsa.

Di dalam Negara modern menurut pendirian para ahli ilmu social hukum ini adalah hasil dari pada pendidikan dan latihan dari para pelaku mengenai IDE dari apa yang dikehendaki oleh Negara secara langsung atau tidak langsung secara formal maupun secara dampak.










Referensi buku :

Hukum Administrasi Negara

Yang judulnya “Dua Pengertian Hukum”

Ghalia Indonesia.


Prof.Dr.Mr.S. Prajudi Atmosudirjo.